Kamis, 23 Oktober 2014

Makalah Cidera Kepala




LANDASAN TEORI

Tulang tengkorak yang tebal dan keras membantun melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat peka terhadap berbagai jenis cedera. Cedera kepala telah menyebabkan kematian dan cacat pada usia kurang dari 50 tahun, dan luka hampir separuh penderita yang mengalami cedera kepala meninggal. Otak bisa terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak. Berbagai cedera bisa disebabkan oleh percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergerak.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan pada sisi yang berlawanan.
Cedera percepatan sampai perlambatan kadang disebut coup contrecoup (bahasa Perancis untuk hit counterhit). Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan syaraf, pembuluh darah dan jaringan di dalam atau dio sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada jalur syaraf, perdarahan atau pembengkakan hebat.



















ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CEDERA KEPALA

A.    DEFINISI
Cedera kepala adalah setiap trauma pada kepala yang menyebabkan cedera pada kulit kepala, kulit kepala, tulang tengkorak, maupun otak. Cedera kepala bisa dikelompokkan sebagai cedera kepala tertutup atau terbuka (penetrasi, luka tembus). Pada cedera kepala tertutup, kepala menerima suatu dorongan tumpul karena membentur suatu benda. Pada cedera kepala terbuka, suatu benda berkecepatan tinggi menembus ruang tengkorak dan masuk ke dalam otak. Cedera kepala dan komplikasinya merupakan penyebab dari sejumlah kematian akibat cedera pada anak-anak.
Cedera kepala hebat juga bisa menyebabkan kerusakan yang serius pada otak yang sedang berkembang, sehingga mempengaruhi perkembangan fisik, kecerdasan, dan emosional anak dan menyebabkan cacat jangka panjang.
Cedera kepala paling sering ditemukan pada anak-anak yang berumur kurang dari 1 tahun dan pada remaja di atas 15 tahun, serta lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.
Setiap cedera kepala berpotensi menimbulkan akibat yang serius, karena itu setiap anak yang mengalami cedera kepala sebaiknya diperiksa secara seksama.

B.     ETIOLOGI
1.      Kecelakaan mobil dan motor
2.     Kecelakaan kerja
3.     Trauma pada olah raga
4.     Kejatuhan benda berat
5.     Luka tembak
6.     Cedera kepala yang ringan terutama disebabkan karena anak terjatuh di dalam atau di sekitar rumah.








C.    PATOFISIOLOGI


D.    MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda dan gejala cedera kepala bisa terjadi segera atau timbul secara bertahap sela,a beberapa jam. Jika setelah kepalanya terbentur, seorang anak segera kembali bermain atau berlari-lari, maka kemungkinan telah terjadi cedera ringan. Tetapi anak harus tetap diawasi secara ketat selama 24 jam karena gejalanya mungkin saja baru timbul beberapa jam jam kemudian.
Cedera kepala ringan bisa menyebabkan muntah, pucat, rewel, atau anak tampak mengantuk, tanpa disertai penurunan kesadaran maupun tanda-tanda lain dari kerusakan otak.
Jika gejala terus berlanjut sampai lebih dari 6 jam atau jika gejala semakin memburuk, segera dilakukan pemeriksaan lebih jauh untuk mengetahui apakah telah terjadi cedera kepala yang berat.

Gejala berikut menunjukkan adanya cedera kepala serius memerlukan penanganan medis segera :
·         Penurunan kesadaran
·         Perdarahan
·         Laju pernafasan melambat
·         Linglung
·         Kejang
·         Patah tulang tengkorak
·         Memar di wajah atau patah tulang wajah
·         Keluar cairan dari hidung, mulut, atau telinga (baik cairan jernih maupun berwarna kemerahan)
·         Sakit kepala (hebat)
·         Hipotensi
·         Tampak sangat mengantuk
·         Rewel
·         Perubahan perilaku
·         Gelisah
·         Bicara ngawur
·         Kaku kuduk
·         Pembengkakan pada daerah yang mengalami cedera
·         Penglihatan kabur
·         Luka pada kulit kepala
·         Perubahan pupil

E.  BERATNYA CEDERA
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
·           Cedera Kepala Ringan (CKR)
GCS 13–15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma.
·           Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9–12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
·           Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.

Glascow Coma Scale (GCS)
No
Respon
Nilai
1.





2.






3.
Membuka Mata :
       Spontan
       Terhadap rangsangan suara
       Terhadap nyeri
       Tidak ada

Verbal :
         Orientasi baik
         Orientasi terganggu
         Kata-kata tidak jelas
         Suara tidak jelas
         Tidak ada respon

Motorik :
         Mampu bergerak
         Melokalisasi nyeri
         Fleksi menarik
         Fleksi abnormal
         Ekstensi
         Tidak ada respon

4
3
2
1


5
4
3
2
1


6
5
4
3
2
1






F.   Morfologi Cedera
Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :
·           Fraktur kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
*   Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)
*   Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )
*   Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
*   Parese nervus facialis ( N VII )
Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
·           Lesi Intrakranial
 Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis lesi sering  terjadi bersamaan.
Termasuk lesi lesi local ;
  • Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya  terjadi pada regon temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media ( Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan gejala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural difossa posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung
  • Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural( kira-kira 30 % dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan epidural.
  • Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral.  Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan neurologist lebih lanjut
  • Cedera otak difus
   Umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus ( CAD). Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible. Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit neurogis untuk beberapa waktu.
Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat. Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana penderita mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu, penderita sering menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.

G.    PEMERIKASAAN DIAGNOSTIK
Dilakukan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan mendetail, meliputi tingkat kesadaran, pergerakan, refleks, mata dan telinga, denyut nadi, tekanan darah dan laju pernafasan.
Pemeriksaan mata dititikberatkan kepada penentuan ukuran pupil dan reaksinya terhadap cahaya, bagian dalam mata diperiksa dengan bantuan oftalmoskop untuk mengetahui adanya peningkatan tekanan didalam otak. Pemeriksaan lainnya adalah CT-Scan, rontgen kepala dan Glasgow Coma Scale (GCS)

H.    PENATALAKSANAAN MEDIS
Pada cedera kepala yang ringan, biasanya anak tidak perlu menjalani perawatan, tetapi orang tuanya di rumah harus mengawasinya secara ketat dan segera membawanya kembali ke rumah sakit jika muntah terjadi terus-menerus dan kesadaran semakin menurun.
jika anak dipulangkan dari rumah sakit pada malam hari, di rumah anak boleh tidur, tetapi orang tuanya perlu membangunkan anak setiap 2-4 jam untuk memastikan kesadarannya normal.
Seorang anak yang mengalami cedera kepala perlu dirawat di rumah sakit jika :
1.      Tampak sangat mengantuk
2.      Pingsan, meskipun hanya sebentar
3.      Mengalami perasaan atau sensasi yang tidak biasa (mati rasa)
4.      Terdapat kelainan pada kekuatan otot
5.      Memiliki resiko tiggi keadaanya semakin memburuk
Anak-anak yang mengalami patah tulang tengkorak tanpa disertai tanda / gejala dari cedera otak, tidak selalu harus dirawat di rumah sakit. Tetapi, bayi yang mengalami patah tulang tengkorak, terutama patah tulang depresi, harus selalu dirawat di rumah sakit.
Pada patah tulang depresi, mungkin perlu dilakukan pembedahan untuk membuang / mengangkat pecahan tulang dan mencegah cedera lebih lanjut pada otak.
Di rumah sakit dilakukan pengawasan ketat terhadap tingkat kesadaran, laju pernafasan, denyut jantung serta tekanan darah anak. Pemeriksaan pupil mata dan pemeriksaan terhadap adanya perubahan sensasi maupun kekuatan otot, dilakukan sesering mungkin untuk mengetahui adanya peningkatan tekanan di dalam tulang tengkorak.
Kerusakan otak yang telah terjadi tidak dapat diperbaiki, tetapi kerusakan lebih lanjut bisa di cegah dengan cara mempertahankan kelancaran aliran darah yang mengandung cukup oksigen ke otak. Tekanan di dalam otak dipertahankan senormal mungkin dengan cara mengatasi pembengkakan otak dan mengurangi tekanan pada otak.
Pada hematoma epidural, harus dilakukan pembedahan darurat untuk mengeluarkan darah sehingga bisa mencegah penekanan dan kerusakan otak.
Pada hematoma subdural, juga dilakukan pembedahan untuk mengeluarkan darah. Mungkin juga akan dipasang sebuah selang kedalam salah satu ventrikel untuk mengalirkan cairan serebrospinal sehingga tekanan di dalam otak berkurang.
Selain itu, untuk mengurangi tekanan di dalam otak, sebaiknya penderita tidur dengan posisi kepala lebih tinggi dan diberikan obat-obatan seperti manitol atau Furosemide.
Kejang biasanya diatasi dengan pemberian Phenytoin.

I.       KOMPLIKASI
Suatu komplikasi yg serius tetapi relatif jarang terjadi adalah perdarahan diantara lapisan selaput yg membungkus otak atau perdarahan didalam otak.
·         Hematoma epidural adalah suatau perdarahan diantara tulang tengkorang dan selaputnya atau durameter . perdarahan ini terjadi akibat kerusakan pada arteri pada vena tulang tengkorak.
Perdarahan menyebabkan meningkatnya tekanan didalam otak sehingga lama-lama kesadaran anak akan menurun.
·         Hematoma subdural adalah perdarahan dibawah durameter, biasanya disertai dengan cedera jaringan otak. Gejalanya berupa rasa mengantuk sampai hilangnya kesadaran , hilangnya sensasi atau kekuatan dan pergerakan abnormal(kejang)
·         Hematoma intraventrikuler (perdarahan didalam rongga interval/ventrikel), hematoma intraparenkimal (perdarahan didalam jaringan otak) maupun hematoma subaraknoid(perdarahan didalam selaput pembungkus otak), merupakan pertanda dari cedera kepala yg berat dan biasanya menyebabkan kerusakan otak jangka panjang.

J.      ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian Cedera Kepala
Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
·           Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
·           Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
·           Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
·           Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
·           Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
·           Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Blader
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.

Diagnosa Keperawatan Pada Cedera Kepala:
1.        Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2.        Resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3.        Nyeri akut b. d agen injuri fisik
4.        Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau defisit neurologis).
5.        Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis.
6.        Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring, imobilisasi.
7.        Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
8.        Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
9.        Perubahan proses keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang hasil/harapan.
10.    Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.


Rencana Tindakan Keperawatan Pada Cedera Kepala
1.        Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan:
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi :
Mandiri
a.         Tentukan faktor-faktor yang  menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK.
Rasional : Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan intensif.
b.        Pantau /catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar GCS.
Rasional : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
c.         Evaluasi keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
d.        Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
Rasional : Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
e.         Pantau intake dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
Rasional : Bermanfaat sebagai indikator dari cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.
f.         Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
Rasional : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK.
g.        Bantu pasien untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
Rasional : Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
h.        Tinggikan kepala pasien 15-45 derajat sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya peningkatan TIK.
i.          Batasi pemberian cairan sesuai indikasi.
Rasional : Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
Kolaborasi
a.         Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
b.        Berikan obat sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif, antipiretik.
Rasional : Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk menghilangkan nyeri. Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi. Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.

2.        Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
Mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
Bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri
a.         Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
b.        Pantau dan catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Rasional : Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
c.         Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi mirng sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan napas.
d.        Anjurkan pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.
e.         Lakukan penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh cukup besar pada perfusi jaringan.
f.         Auskultasi suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
g.        Lakukan fisioterapi dada jika ada indikasi.
Rasional : Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
Kolaborasi
a.         Pantau analisa gas darah, tekanan oksimetri
Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
b.        Lakukan ronsen thoraks ulang.
Rasional : Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau bronkopneumoni.
c.         Berikan oksigen.
Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.

3) Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi :
Mandiri
a.         Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
Rasional : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
b.        Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
c.         Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
d.        Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
Rasional : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.
Kolaborasi
a.         Berikan antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar