LANDASAN
TEORI
Tulang tengkorak yang tebal dan keras
membantun melindungi otak. Tetapi meskipun memiliki helm alami, otak sangat
peka terhadap berbagai jenis cedera. Cedera kepala telah menyebabkan kematian
dan cacat pada usia kurang dari 50 tahun, dan luka hampir separuh penderita
yang mengalami cedera kepala meninggal. Otak bisa terluka meskipun tidak
terdapat luka yang menembus tengkorak. Berbagai cedera bisa disebabkan oleh
percepatan mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena
perlambatan mendadak yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak
bergerak.
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik benturan dan
pada sisi yang berlawanan.
Cedera percepatan sampai perlambatan
kadang disebut coup contrecoup
(bahasa Perancis untuk hit counterhit).
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan syaraf,
pembuluh darah dan jaringan di dalam atau dio sekeliling otak. Bisa terjadi
kerusakan pada jalur syaraf, perdarahan atau pembengkakan hebat.
ASUHAN
KEPERAWATAN KLIEN DENGAN CEDERA KEPALA
A. DEFINISI
Cedera kepala adalah setiap trauma pada
kepala yang menyebabkan cedera pada kulit kepala, kulit kepala, tulang
tengkorak, maupun otak. Cedera kepala bisa dikelompokkan sebagai cedera kepala
tertutup atau terbuka (penetrasi, luka
tembus). Pada cedera kepala tertutup, kepala menerima suatu dorongan tumpul
karena membentur suatu benda. Pada cedera kepala terbuka, suatu benda
berkecepatan tinggi menembus ruang tengkorak dan masuk ke dalam otak. Cedera
kepala dan komplikasinya merupakan penyebab dari sejumlah kematian akibat
cedera pada anak-anak.
Cedera kepala hebat juga bisa
menyebabkan kerusakan yang serius pada otak yang sedang berkembang, sehingga
mempengaruhi perkembangan fisik, kecerdasan, dan emosional anak dan menyebabkan
cacat jangka panjang.
Cedera kepala paling sering ditemukan pada anak-anak
yang berumur kurang dari 1 tahun dan pada remaja di atas 15 tahun, serta lebih
banyak terjadi pada anak laki-laki.
Setiap cedera kepala berpotensi menimbulkan akibat
yang serius, karena itu setiap anak yang mengalami cedera kepala sebaiknya
diperiksa secara seksama.
B.
ETIOLOGI
1.
Kecelakaan
mobil dan motor
2.
Kecelakaan kerja
3.
Trauma pada olah
raga
4.
Kejatuhan benda berat
5.
Luka tembak
6.
Cedera
kepala yang ringan terutama disebabkan karena anak terjatuh di dalam atau di
sekitar rumah.
C. PATOFISIOLOGI
D. MANIFESTASI
KLINIS
Tanda-tanda
dan gejala cedera kepala bisa terjadi segera atau timbul secara bertahap sela,a
beberapa jam. Jika setelah kepalanya terbentur, seorang anak segera kembali
bermain atau berlari-lari, maka kemungkinan telah terjadi cedera ringan. Tetapi
anak harus tetap diawasi secara ketat selama 24 jam karena gejalanya mungkin
saja baru timbul beberapa jam jam kemudian.
Cedera
kepala ringan bisa menyebabkan muntah, pucat, rewel, atau anak tampak
mengantuk, tanpa disertai penurunan kesadaran maupun tanda-tanda lain dari
kerusakan otak.
Jika
gejala terus berlanjut sampai lebih dari 6 jam atau jika gejala semakin
memburuk, segera dilakukan pemeriksaan lebih jauh untuk mengetahui apakah telah
terjadi cedera kepala yang berat.
Gejala
berikut menunjukkan adanya cedera kepala serius memerlukan penanganan medis
segera :
·
Penurunan
kesadaran
·
Perdarahan
·
Laju
pernafasan melambat
·
Linglung
·
Kejang
·
Patah
tulang tengkorak
·
Memar
di wajah atau patah tulang wajah
·
Keluar
cairan dari hidung, mulut, atau telinga (baik cairan jernih maupun berwarna kemerahan)
·
Sakit
kepala (hebat)
·
Hipotensi
·
Tampak
sangat mengantuk
·
Rewel
·
Perubahan
perilaku
·
Gelisah
·
Bicara
ngawur
·
Kaku
kuduk
·
Pembengkakan
pada daerah yang mengalami cedera
·
Penglihatan
kabur
·
Luka
pada kulit kepala
·
Perubahan
pupil
E. BERATNYA CEDERA
Glascow Coma Scale (GCS) digunakan untuk menilai secara kuantitatif kelainan neurologis
dan dipakai secara umum dalam deskripsi beratnya penderita cedera kepala.
·
Cedera Kepala Ringan (CKR)
GCS 13–15, dapat terjadi kehilangan kesadaran (pingsan) kurang dari 30
menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada
kontusio cerebral maupun hematoma.
·
Cedera Kepala Sedang ( CKS)
GCS 9–12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih
dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur
tengkorak.
·
Cedera Kepala Berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau terjadi
amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral, laserasi atau
hematoma intracranial.
Glascow Coma
Scale (GCS)
No
|
Respon
|
Nilai
|
1.
2.
3.
|
Membuka Mata :
Spontan
Terhadap
rangsangan suara
Terhadap nyeri
Tidak ada
Verbal :
Orientasi baik
Orientasi
terganggu
Kata-kata tidak
jelas
Suara tidak jelas
Tidak ada respon
Motorik :
Mampu bergerak
Melokalisasi nyeri
Fleksi menarik
Fleksi abnormal
Ekstensi
Tidak ada respon
|
4
3
2
1
5
4
3
2
1
6
5
4
3
2
1
|
F. Morfologi
Cedera
Secara Morfologi cedera kepala
dibagi atas :
·
Fraktur kranium
Fraktur
kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dan dapat terbentuk garis
atau bintang dan dapat pula terbuka atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak
biasanya merupakan pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya.
Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan petunjuk
kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Tanda-tanda tersebut antara lain :
* Ekimosis
periorbital ( Raccoon eye sign)
* Ekimosis
retro aurikuler (Battle`sign )
* Kebocoran
CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan
* Parese
nervus facialis ( N VII )
Sebagai
patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang menekan ke dalam, lebih tebal
dari tulang kalvaria, biasanya memeerlukan tindakan pembedahan.
·
Lesi Intrakranial
Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan
lesi difus, walaupun kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan.
Termasuk
lesi lesi local ;
- Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak diantara
dura dan calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal atau
temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media ( Sudiharto 1998).
Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala
(interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan kesadaran
progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala neurology
timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema dan
gejala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural difossa posterior dengan
perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput akan menimbulkan
gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral dan paresis nervi
kranialis. Cirri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa
cembung
- Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering
terjadi daripada perdarahan epidural( kira-kira 30 % dari cedera kepala berat).
Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan yang terletak
antara kortek cerebri dan sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat
terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak
dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk daripada perdarahan
epidural.
- Kontusio (perdarahan intra cerebral)
Kontusio cerebral sangat sering
terjadi di frontal dan lobus temporal, walau terjadi juga pada setiap bagian
otak, termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri dapat saja terjadi
dalam waktu beberapa hari atau jam mengalami evolusi membentuk perdarahan
intracerebral. Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan
neurologist lebih lanjut
- Cedera otak difus
Umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal,
namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam
keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak
difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona
Difus ( CAD). Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat
akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi
pada cedera kepala.
Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran
tetap tidak terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat
sementara dalam berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena
ringan sering kali tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio
ini adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd, amnesia
integrad ( keadaan amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio
cedera klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya atau hilangnya
kesadaran. Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya
amnesia ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya
berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible. Dalam definisi klasik
penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak
penderita dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat neurologist,
namun pada beberapa penderita dapat timbul deficit neurogis untuk beberapa
waktu.
Defisit neurologist itu misalnya : kesulitan
mengingat, pusing ,mual, amnesia dan depresi serta gejala lainnya.
Gejala-gejala ini dikenal sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup
berat. Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah dimana
penderita mengalami coma pasca cedera yang berlangsung lama dan tidak
diakibatkan oleh suatu lesi masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam
keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama beberapa waktu, penderita sering
menunjukkan gejala dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap
dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup. Penderita sering
menunjukkan gejala disfungsi otonom seperti hipotensi, hiperhidrosis dan
hiperpireksia dan dulu diduga akibat cedera batang otak primer.
G. PEMERIKASAAN
DIAGNOSTIK
Dilakukan
pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan mendetail, meliputi tingkat kesadaran,
pergerakan, refleks, mata dan telinga, denyut nadi, tekanan darah dan laju
pernafasan.
Pemeriksaan mata dititikberatkan kepada penentuan ukuran pupil dan reaksinya terhadap cahaya, bagian dalam mata diperiksa dengan bantuan oftalmoskop untuk mengetahui adanya peningkatan tekanan didalam otak. Pemeriksaan lainnya adalah CT-Scan, rontgen kepala dan Glasgow Coma Scale (GCS)
Pemeriksaan mata dititikberatkan kepada penentuan ukuran pupil dan reaksinya terhadap cahaya, bagian dalam mata diperiksa dengan bantuan oftalmoskop untuk mengetahui adanya peningkatan tekanan didalam otak. Pemeriksaan lainnya adalah CT-Scan, rontgen kepala dan Glasgow Coma Scale (GCS)
H. PENATALAKSANAAN
MEDIS
Pada
cedera kepala yang ringan, biasanya anak tidak perlu menjalani perawatan,
tetapi orang tuanya di rumah harus mengawasinya secara ketat dan segera
membawanya kembali ke rumah sakit jika muntah terjadi terus-menerus dan
kesadaran semakin menurun.
jika anak dipulangkan dari rumah sakit pada malam hari, di rumah anak boleh tidur, tetapi orang tuanya perlu membangunkan anak setiap 2-4 jam untuk memastikan kesadarannya normal.
Seorang anak yang mengalami cedera kepala perlu dirawat di rumah sakit jika :
jika anak dipulangkan dari rumah sakit pada malam hari, di rumah anak boleh tidur, tetapi orang tuanya perlu membangunkan anak setiap 2-4 jam untuk memastikan kesadarannya normal.
Seorang anak yang mengalami cedera kepala perlu dirawat di rumah sakit jika :
1.
Tampak
sangat mengantuk
2.
Pingsan,
meskipun hanya sebentar
3.
Mengalami
perasaan atau sensasi yang tidak biasa (mati rasa)
4.
Terdapat
kelainan pada kekuatan otot
5.
Memiliki
resiko tiggi keadaanya semakin memburuk
Anak-anak yang mengalami patah tulang tengkorak
tanpa disertai tanda / gejala dari cedera otak, tidak selalu harus dirawat di
rumah sakit. Tetapi, bayi yang mengalami patah tulang tengkorak, terutama patah
tulang depresi, harus selalu dirawat di rumah sakit.
Pada patah tulang depresi, mungkin perlu dilakukan
pembedahan untuk membuang / mengangkat pecahan tulang dan mencegah cedera lebih
lanjut pada otak.
Di rumah sakit dilakukan pengawasan ketat terhadap
tingkat kesadaran, laju pernafasan, denyut jantung serta tekanan darah anak.
Pemeriksaan pupil mata dan pemeriksaan terhadap adanya perubahan sensasi maupun
kekuatan otot, dilakukan sesering mungkin untuk mengetahui adanya peningkatan
tekanan di dalam tulang tengkorak.
Kerusakan otak yang telah terjadi tidak dapat
diperbaiki, tetapi kerusakan lebih lanjut bisa di cegah dengan cara
mempertahankan kelancaran aliran darah yang mengandung cukup oksigen ke otak.
Tekanan di dalam otak dipertahankan senormal mungkin dengan cara mengatasi
pembengkakan otak dan mengurangi tekanan pada otak.
Pada hematoma epidural, harus dilakukan pembedahan
darurat untuk mengeluarkan darah sehingga bisa mencegah penekanan dan kerusakan
otak.
Pada hematoma subdural, juga dilakukan pembedahan
untuk mengeluarkan darah. Mungkin juga akan dipasang sebuah selang kedalam
salah satu ventrikel untuk mengalirkan cairan serebrospinal sehingga tekanan di dalam otak berkurang.
Selain itu, untuk mengurangi tekanan di dalam otak,
sebaiknya penderita tidur dengan posisi kepala lebih tinggi dan diberikan
obat-obatan seperti manitol atau Furosemide.
Kejang biasanya diatasi dengan pemberian Phenytoin.
I. KOMPLIKASI
Suatu komplikasi yg serius tetapi relatif jarang
terjadi adalah perdarahan diantara lapisan selaput yg membungkus otak atau perdarahan
didalam otak.
·
Hematoma
epidural adalah suatau perdarahan diantara tulang tengkorang dan selaputnya
atau durameter . perdarahan ini terjadi akibat kerusakan pada arteri pada vena
tulang tengkorak.
Perdarahan menyebabkan meningkatnya tekanan didalam
otak sehingga lama-lama kesadaran anak akan menurun.
·
Hematoma
subdural adalah perdarahan dibawah durameter, biasanya disertai dengan cedera
jaringan otak. Gejalanya berupa rasa mengantuk sampai hilangnya kesadaran ,
hilangnya sensasi atau kekuatan dan pergerakan abnormal(kejang)
·
Hematoma
intraventrikuler (perdarahan didalam rongga interval/ventrikel), hematoma
intraparenkimal (perdarahan didalam jaringan otak) maupun hematoma
subaraknoid(perdarahan didalam selaput pembungkus otak), merupakan pertanda
dari cedera kepala yg berat dan biasanya menyebabkan kerusakan otak jangka
panjang.
J. ASUHAN
KEPERAWATAN
Pengkajian Cedera Kepala
Breathing
Kompresi
pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi
perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa
Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum
pada jalan napas.
Blood
Efek
peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
Brain
Gangguan
kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat
cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila
perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
·
Perubahan
status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan
masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
·
Perubahan
dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang
pandang, foto fobia.
·
Perubahan
pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
·
Terjadi
penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
·
Sering
timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan
kompresi spasmodik diafragma.
·
Gangguan
nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi,
disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
Blader
Pada
cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri,
ketidakmampuan menahan miksi.
Bowel
Terjadi
penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia)
dan terganggunya proses eliminasi alvi.
Bone
Pasien
cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang
lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi
karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks
pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
Diagnosa
Keperawatan Pada Cedera Kepala:
1.
Perubahan
perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma);
edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia jantung)
2.
Resiko
tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3.
Nyeri akut
b. d agen injuri fisik
4.
Perubahan
persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau
defisit neurologis).
5.
Perubahan
proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis.
6.
Kerusakan
mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan
kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring,
imobilisasi.
7.
Resiko
tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon
inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup
(kebocoran CSS)
8.
Resiko
tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan
kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot
yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
9.
Perubahan
proses keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang
hasil/harapan.
10.
Kurang
pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang pemajanan,
tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
Rencana
Tindakan Keperawatan Pada Cedera Kepala
1.
Perubahan
perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia
(hipovolemia, disritmia jantung)
Tujuan:
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan
fungsi motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi :
Mandiri
a.
Tentukan
faktor-faktor yang menyebabkan koma/penurunan perfusi jaringan otak dan
potensial peningkatan TIK.
Rasional : Penurunan tanda/gejala neurologis atau
kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya pasien
dirawat di perawatan intensif.
b.
Pantau
/catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
GCS.
Rasional : Mengkaji tingkat kesadaran dan
potensial peningkatan TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan SSP.
c.
Evaluasi
keadaan pupil, ukuran, kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi terhadap cahaya.
Rasional : Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
okulomotor (III) berguna untuk menentukan apakah batang otak masih baik.
Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan antara persarafan simpatis dan
parasimpatis. Respon terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari
saraf kranial optikus (II) dan okulomotor (III).
d.
Pantau tanda-tanda
vital: TD, nadi, frekuensi nafas, suhu.
Rasional : Peningkatan TD sistemik yang diikuti
oleh penurunan TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan kesadaran. Hipovolemia/hipertensi
dapat mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam dapat mencerminkan
kerusakan pada hipotalamus. Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi
oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil) yang selanjutnya
menyebabkan peningkatan TIK.
e.
Pantau intake
dan out put, turgor kulit dan membran mukosa.
Rasional : Bermanfaat sebagai indikator dari
cairan total tubuh yang terintegrasi dengan perfusi jaringan. Iskemia/trauma
serebral dapat mengakibatkan diabetes insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan
pada masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah yang akhirnya akan
berpengaruh negatif terhadap tekanan serebral.
f.
Turunkan
stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang.
Rasional : Memberikan efek ketenangan, menurunkan
reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau
menurunkan TIK.
g.
Bantu pasien
untuk menghindari /membatasi batuk, muntah, mengejan.
Rasional : Aktivitas ini akan meningkatkan
tekanan intrathorak dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
h.
Tinggikan
kepala pasien 15-45 derajat sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi.
Rasional : Meningkatkan aliran balik vena dari
kepala sehingga akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko terjadinya
peningkatan TIK.
i.
Batasi
pemberian cairan sesuai indikasi.
Rasional : Pembatasan cairan diperlukan untuk
menurunkan edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler TD dan TIK.
Kolaborasi
a.
Berikan
oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional : Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral yang meningkatkan TIK.
b.
Berikan obat
sesuai indikasi, misal: diuretik, steroid, antikonvulsan, analgetik, sedatif,
antipiretik.
Rasional : Diuretik digunakan pada fase akut
untuk menurunkan air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,. Steroid
menurunkan inflamasi, yang selanjutnya menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan
untuk mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang. Analgesik untuk
menghilangkan nyeri. Sedatif digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi.
Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam yang mempunyai pengaruh
meningkatkan metabolisme serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.
2.
Resiko
tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif.
Obstruksi trakeobronkhial.
Tujuan:
Mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
Bebas sianosis, GDA dalam batas normal
Intervensi:
Mandiri
a.
Pantau
frekuensi, irama, kedalaman pernapasan. Catat ketidakteraturan pernapasan.
Rasional : Perubahan dapat menandakan awitan
komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan otak.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.
b.
Pantau dan
catat kompetensi reflek gag/menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi jalan
napas sendiri. Pasang jalan napas sesuai indikasi.
Rasional : Kemampuan memobilisasi atau
membersihkan sekresi penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan refleks
menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan napas buatan atau intubasi.
c.
Angkat
kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi mirng sesuai indikasi.
Rasional : Untuk memudahkan ekspansi
paru/ventilasi paru dan menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang
menyumbat jalan napas.
d.
Anjurkan
pasien untuk melakukan napas dalam yang efektif bila pasien sadar.
Rasional : Mencegah/menurunkan atelektasis.
e.
Lakukan
penghisapan dengan ekstra hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik. Catat
karakter, warna dan kekeruhan dari sekret.
Rasional : Penghisapan biasanya dibutuhkan jika
pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat membersihkan jalan
napasnya sendiri. Penghisapan pada trakhea yang lebih dalam harus dilakukan
dengan ekstra hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau meningkatkan
hipoksia yang menimbulkan vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh
cukup besar pada perfusi jaringan.
f.
Auskultasi
suara napas, perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara tambahan yang
tidak normal misal: ronkhi, wheezing, krekel.
Rasional : Untuk mengidentifikasi adanya masalah
paru seperti atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang
membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau menandakan terjadinya infeksi paru.
g.
Lakukan
fisioterapi dada jika ada indikasi.
Rasional : Walaupun merupakan kontraindikasi pada
pasien dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini seringkali berguna
pada fase akut rehabilitasi untuk memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
Kolaborasi
a.
Pantau
analisa gas darah, tekanan oksimetri
Rasional : Menentukan kecukupan pernapasan,
keseimbangan asam basa dan kebutuhan akan terapi.
b.
Lakukan
ronsen thoraks ulang.
Rasional : Melihat kembali keadaan ventilasi dan
tanda-tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau bronkopneumoni.
c.
Berikan
oksigen.
Rasional : Memaksimalkan oksigen pada darah
arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernapasan tertekan,
mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
3) Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit
rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan
nutrisi. Respon inflamasi tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas
sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan
normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai
penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi :
Mandiri
a.
Berikan
perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
Rasional : Cara pertama untuk menghindari
terjadinya infeksi nosokomial.
b.
Observasi
daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat
karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
Rasional : Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan pencegahan terhadap
komplikasi selanjutnya.
c.
Pantau suhu
tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan
fungsi mental (penurunan kesadaran).
Rasional : Dapat mengindikasikan perkembangan
sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan segera.
d.
Anjurkan
untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus
menerus. Observasi karakteristik sputum.
Rasional : Peningkatan mobilisasi dan pembersihan
sekresi paru untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia, atelektasis.
Kolaborasi
a.
Berikan
antibiotik sesuai indikasi.
Rasional : Terapi profilatik dapat digunakan pada
pasien yang mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan
untuk menurunkan resiko terjadinya infeksi nosokomial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar